SULSEL - Pengurus Perkumpulan Wija Raja La Patau Matanna Tikka (PERWIRA LPMT) dipimpin oleh Andi Muhammad Sapri Pamulu berkunjung ke Istana Jongaya yang diterima langsung oleh Mayor Jenderal (Purn) Andi Muhammad Mappanyukki yang akrab disapa dengan 'Panglimata'.
Acara Silaturrahmi dimulai dengan makan siang bersama, lalu sambutan Panglimata dan kemudian diskusi serta foto bersama sebagai kegiatan pamungkas.
Selain silaturrahmi dengan Panglimata, Pengurus juga memohon arahan dan masukan terkait rencana kerja tahun 2024 terutama terkait dengan Program Pemajuan Kebudayaan.
Panglimata dikenal sangat peduli dalam Upaya pelestarian budaya khususnya di Sulawesi Selatan, Panglimata juga adalah cucu dari Raja Bone XXXII yang juga Pahlawan Nasional, Andi Mappanyukki (Sultan Ibrahim) dan cicit dari Raja Gowa XXXIV, I Makkulau Daeng Serang (Sultan Husain).
Nama Panglimata yang kemudian tersemat menjadi popular mulai saat menjabat sebagai Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) XIV/Hasanuddin pada tahun 2022 lalu.
Istana Jongaya dipilih sebagai tempat silaturrahmi sebagai penanda situs dari berbagai peristiwa bersejarah baik Kerajaan Bone & Gowa di masa lalu ataupun bagi Sulawesi Selatan & Indonesia di masa kini antara lain Hari Jadi Sulsel dan Deklarasi Jongaya.
Balla’ Lompoa atau Istana Jongaya sendiri dibangun pada jaman Raja Gowa XXXII, I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembangparang Sultan Abdul Kadir (1826-1893) dan terakhir menjadi kediaman Raja Bone XXXII Andi Mappanyukki sampai akhir hayatnya (1967).
Merujuk ke Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan No. 10 Tahun 1995, tentang Penetapan Hari Jadi Sulawesi Selatan yang menetapkan tanggal 19 bulan Oktober tahun 1669 sebagai Hari Jadi Sulawesi Selatan, maka salah satu latar penetapan bulan Oktober adalah memperingati makna sakral “bulan oktober” bagi integrasi Sulsel yaitu peristiwa pada tanggal 15 Oktober 1945 dimana sebanyak 40 raja dan bangsawan seluruh kerajaan di Sulsel melakukan pertemuan di istana Jongaya atau istana kediaman Arumpone Andi Mappanyukki yang menyepakati untuk mendukung Pemerintah Republik Indonesia di Sulawesi Selatan Tenggara. Pernyataan tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Jongaya.
Baca juga:
Hasnah Syam Launching Inovasi Parenting
|
Andi Mappanyukki (lahir 1885 - wafat 18 April 1967) adalah salah tokoh pejuang dan seorang bangsawan di Sulawesi Selatan.
Pada masanya bertahta sebagai Raja Bone, banyak konflik yang terjadi dengan kolonial Belanda. Saat itu Belanda menawarkan kerjasama dengan Andi Mappanyukki, namun ia menolaknya.
Penolakannya tersebut, membuat Andi Mappanyukki diturunkan jabatannya dari Raja Bone oleh kekuatan kekuasaan Belanda.
Setelah itu, ia diasingkan bersama keluarganya di Rantepao, Tana Toraja dan Selayar. Lalu, pada tanggal 21 Desember 1957, Andi Mappanyukki menjadi Kepala Daerah Swapraja Bone atas usulan dari Panglima Daerah Militer Sulawesi Selatan.
Pada tanggal 18 April 1967, Andi menghembuskan nafas terakhirnya di Istana Jongaya. Kemudian jenazahnya dikebumikan di pemakaman raja-raja Gowa atau Bone.
Namun, atas usulan masyarakat Sulsel dan pemerintah Republik Indonesia, makamnya kemudian diletakkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang dan dengan upacara kenegaraan.
Atas integritasnya sebagai pejuang yang pantang menyerah kepada Belanda serta sumbangsihnya terhadap bangsa dan negara, Andi Mappanyukki dianugerahkan gelar sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keppres No. 089/TK/2004, pada tanggal 5 November 2004.